Kebijakan Komunikasi Era Reformasi : Pers


Kebijakan Komunikasi di Era Reformasi : Pers
Reformasi adalah sebuah perubahan secara drastis untuk perbaikan (bidang sosial, politik, atau agama) dalam suatu masyarakat atau Negara. Di Indonesia era reformasi berlangsung pada tahun 1998 sampai sekarang. Banyak hal yang melatarbelakangi terjadinya reformasi di Indonesia, antara lain :
1.      Krisis Politik
Pada era orde baru, banyak sekali kejanggalan yang terjadi, salah satunya pada bidang politik. Penguasa yang berkuasa saat itu memerintah sangat lama, sehingga pemerintah yang berkuasa saat itu sangatlah dominan, tak ada praktik demokrasi yang tercermin pada saat itu. Kekuasaan penuh ada di tangan pemerintah, sehingga terjadi krisis kebebasan. Hal itu juga berimbas pada media-media yang ada pada saat itu. Sehingga muncul politik yang represif. Kehidupan yang politik yang represif
2.      Krisis Hukum
Kekuasaan peradilan harus dilaksanakan untuk melayani kepentingan para penguasa dan bukan untuk melayani masyarakat dengan penuh keadilan.   Bahkan, hukum sering dijadikan alat pembenaran para penguasa. Sehingga penguasa yang ada pada masa itu semakin kuat dengan pelindung-pelindung hukum yang mereka buat sendiri untuk kepentingan mereka.
3.      Krisis Ekonomi
Krisis moneter yang terjadi pada masa itu menyerang Asia Tenggara, termasuk Indonesia. Nilai tukar Rupiah terhadap USD melemah, hingga Rp. 14.000 per USD.
4.      Krisis Sosial
Semua krisis-krisis yang ada di atas menyebabkan krisis sosial. Kerusuhan terjadi antar suku dan etnis terjadi di mana-mana.
5.      Krisis Kepercayaan
Akibat banyaknya ketidakberesan yang terjadi pada masa itu di pemerintahan, maka hampir seluruh masyarakat Indonesia menjadi tidak mempercayai pemerintah yang sedang berkuasa pada saat itu.


A.    Dinamika Kebijakan Informasi dan Komunikasi Era Reformasi :

1.      B.J. Habibie (21 Mei 1998-20 Oktober 1999)
Pada masa pemerintahannya, beliau mengesahkan UU No 40 tahun 1999 tentang pers pada tanggal 23 September 1999 sebagai ganti dari UU pers sebelumnya. UU No. 40 tahun 1999 berisi mengenai pencabutan pembredelan pers pada pasal 4 ayat 2 UU Nomor 40 tahun 1999, penyederhanaan permohonan SIUPP pada pasal 9 ayat 2 UU No. 40 Tahun 1999, melindungi praktisi pers dengan mengancam hukum pidana dua tahun penjara atau denda Rp. 500 juta bagi yang menghambat kemerdekaan pers pada pasal 4 ayat 2 juncto Pasal 18 ayat 1 UU Nomor 40 Tahun 1999, dan Mencabut SK Menpen Nomor 47 tahun 1975 tentang pengakuan pemerintah terhadap PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia.

2.      K.H. Abdurrahman Wahid (20 Oktober 1999 – 23 Juli 2001)
Pada masa pemerintahan Gus Dur, Departemen Penerangan dihapuskan karena dianggap hanya sibuk dengan perijinan-perijinan saja dan selalu memungut biaya. Kemudian setelah Deppen dibubarkan, dibentuklah BIKN (Badan Informasi dan Komunikasi Nasional) pada 7 Desember 1999 yang didasari oleh Keppres no 153 tahun 1999 sebagai pengganti Departemen Penerangan, yang menjadi cikal bakal Kominfo.

3.      Megawati Soekarno Puteri (23 Juli 2001 – 20 Oktober 2004)
Dalam dunia pers beliau melakukan beberapa kebijakan salah satunya menetapkan Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi pada tahun 2001. Saat itu yang ditunjuk sebagai Menteri Negara adalah Syamsul Mu'arif. Selain itu juga dibentuklah Lembaga Informasi Nasional (LIN). Selain itu, saat itu wewenang Kominfo dalam hal konten penyiaran dialihkan ke lembaga independen baru bernama Komisi Penyiaran Indonesia yang didirikan melalui UU no. 32 tahun 2002 tentang Penyiaran.

4.      Susilo Bambang Yudhoyono (20 Oktober 2004 – 20 Oktober 2014)
Pada era kepemimpinan, beliau menetapkan pers yang bebas namun bertanggung jawab sehingga adanya kebebasan dari pers namun ada kesadaran tanggung jawab dari media seperti tidak berbuat semaunya atas kebebasan yang diperoleh kekuasaan media massa. Pada Era Kepemimpinan SBY juga memperoleh kebijakan yaitu menggabungkan Kementerian Negara Komunikasi dan Informasi, Lembaga Informasi Nasional, dan Direktorat Jenderal Pos dan Telekomunikasi yang berasal dari Departemen Perhubungan dan ditambahkannya direktorat jenderal baru yaitu Direktorat Jenderal Aplikasi Telematika. Pada tahun 2008 juga dibentuk mitra baru Kominfo yaitu Komisi Informasi yang dibentuk berdasarkan UU no. 14 tahun 2008 mengenai Keterbukaan Informasi Publik..

5.      Joko Widodo (20 Oktober 2014 – Sekarang)
Dilansir dari Tirto.id (2019) hal ini ditunjukkan dengan jumlah kekerasan wartawan yang terjadi sepanjang kepemimpinannya hingga 2018. Selain itu, ada juga bentuk ancaman terhadap wartawan dengan penyebaran informasi pribadi ke media sosial. Selain itu, dari Tirto.id (2019) juga ditunjukkan kasus konglomerasi media yang masih berlangsung hingga sekarang, dan diharapkan dapat berkurang.


B.     Keadaan Pers saat Reformasi & Regulasi Pers saat Reformasi
Berbeda dari era orde baru dimana segala sesuatunya harus dilakukan atas perintah dari penguasa, pada era reformasi keadaannya dimana lebih demokrasi, dimana pers dapat menyuarakan pendapat secara bebas namun bertanggung jawab kepada pemerintah, rakyat, maupun Negara. Tidak adanya larangan yang akan membungkam pendapat pers pada saat era reformasi. Dari hal tersebut dapat ditarik kesimpulan bahwa hidupnya pers sesuai dengan kebijakan yang dibuat oleh pemerintah. Hal tersebut juga didukung dengan adanya perubahan peraturan- peraturan yang dinilai merugikan pers dalam, yaitu :
a.       Mengesahkan UU No 40 tahun 1999 tentang pers pada tanggal 23 September 1999
b.      Pasal 9 ayat 2 UU No. 40 Tahun 1999 meniadakan keharusan mengajukan SIUPP untuk menerbitkan pers.
c.       Pasal 4 ayat 2 UU Nomor 40 tahun 1999 menghilangkan ketentuan sensor dan pembredelan pers
d.      Pasal 4 ayat 2 juncto Pasal 18 ayat 1 UU Nomor 40 Tahun 1999 melindungi praktisi pers dengan mengancam hukum pidana dua tahun penjara atau denda Rp. 500 juta bagi yang menghambat kemerdekaan pers.
e.      Mencabut SK Menpen Nomor 47 tahun 1975 tentang pengakuan pemerintah terhadap PWI sebagai satu-satunya organisasi wartawan di Indonesia. Pencabutan SK ini, mengakhiri era wadah tunggal organisasi kewartawanan, sehingga tidak sampai dalam satu tahun telah tumbuh 34 organisasi wartawan cetak dan elektronik.
f.        Membubarkan departemen penerangan karena dianggap sangat mengekang kebebasan pers. Namun, dibentuk dewan pers yang gunanya untuk mengawasi dan menetapkan kode etik dan juga sebagai mediator jika ada kesalahpahaman dengan rakyat ataupun pemerintah.

Pada era orde baru, pers seolah- olah diberikan izin untuk mendirikan sebuah pers namun pada praktiknya tetap selalu diawasi dan harus pro terhadap pemerintah. Pada era reformasi, memang seolah-olah pers telah mengalami kebebasan; seperti dengan dihapusnya SIUPP dan kemudahan izin untuk mendirikan media dan memperoleh informasi. Namun pada kenyataannya, masih ada kesamaan dengan era orde baru di mana kebebasan pers masih terancam







Komentar

Postingan Populer