Kebijakan Komunikasi Pasca Proklamasi
Kebijakan Komunikasi Pasca
Proklamasi
Pers di Kalimantan Selatan Sesudah
Tahun 1945
Periode
Transisi Sesudah Perang Dunia II
Penyerahan tanpa syarat Jepang
kepada negara-negara sekutu pada tanggal 15 Agustus 1945 yang juga mengakhiri
Perang Dunia II, menimbulkan kekosongan kekuatan di daerah Kalimantan Selatan.
Faktor-faktor yang mempengaruhi keadaan ini sebagai berikut:
·
Keadaan di Kalimantan Selatan memberi
peluang pada Belanda untuk menanam kembali kekuasaannya setelah pendudukan
Jepang selama tiga tahun dan delapan bulan.
·
Jumlah penduduk di Kalimantan Selata
relatif sedikit dan sebagia besar pemimpin nasionalis di sana dibunuh oleh
Jepang (Suryomihardjo, 2002, h. 149).
·
Tidak adanya media massa yang menyokong
unsur nasionalis di Kalimantan Selatan waktu pendudukan Jepang (Suryomihardjo, 2002, h. 150).
Surat Kabar dan Majalah
Non-kooperatif (Periode 1945-1949)
·
Majalah “Republik”
Majalah
ini terbit pada 17 Agustus 1946 di Kandangan yang merupakan eksponen pers
non-kooperatif yang pertama di Kalimantan Selatan. Majalah ini memperjuangkan
supaya Kalimantan Selatan tetap merupakan wilayah negara RI dan menentang tegas
politik sparatisme Belanda (Suryomihardjo,
2002, h. 151).
·
Harian “Kalimantan Berjoang”
Surat
kabar ini juga lahir di Kandangan yang mulai terbit pada 1 Oktober 1946, dengan
tujuan dari awal hingga akhir tetap memperjuangkan Proklamasi Kemerdekaan (Suryomihardjo, 2002, h. 152).
·
Harian “Terompet Rakjat”
Harian
ini mulai terbit di Amuntai tanggal 2 Desember 1946 yang muatannya berhubungan
dengan pertahanan Republik Indonesia (Suryomihardjo,
2002, h. 155).
Surat Kabar dan Majalah Kooperatif
(Periode Perjuangan Kemerdekaan 1945-1949)
·
“Soeara Kalimantan”
Harian
ini diterbitkan oleh penguasa Belanda pada tahun 1945. Karakteristik harian ini
tidak menentang tindakan pemerintah Belanda, melainkan cenderung menyokong
mendirikan negara Indonesia atas dasar bekerja sama dengan Belanda. (Suryomihardjo, 2002, h. 155-156)
Surat Kabar dan Majalah Kooperatif
(Periode Sebelum PD II)
·
Harian “Bintang Borneo”
Harian
yang didirikan pada tahun 1925 ini lebih condong pada berkooperasi dengan
Belanda dan cenderung banyak mengupas masalah luar negeri daripada dalam
negeri. (Suryomihardjo, 2002, h.
157)
·
Surat Kabar “Sit Po”
Surat
kabar ini diterbitkan pada tahun 1939 yang cenderung mementingkan kepentinga
golongan Tionghoa. (Suryomihardjo,
2002, h. 160)
Surat kabar dan Majalah
Non-Kooperatof (Periode sebelum PD II)
·
Surat Kabar “Soeara Kalimantan”
Mingguan
ini mulai terbit pada 1 April 1930 yang cenderung bercorak nasionalis dan
berusaha memperjuangkan kepentingan Islam (Suryomihardjo, 2002, h. 161)
Surat Kabar dan Majalah Sesudah
Penyerahan Kedaulatan
·
“Indonesia Merdeka”
Harian
ini terbit pada 4 Oktober 1945 dengan haluan tidak menyetujui adanya partai
kecil menyetujui fusi antara mereka hingga menjadi partai besar (Suryomihardjo, 2002, h. 164)
·
Harian “Indoensia Berdjoang”
Harian
ini lebig condong pada mengikuti Partai Sosialis Indonesia (PSI) dan menolak
PKI (Suryomihardjo, 2002, h. 165)
Pembredelan
Pers dalam Sejarah Indonesia
Pada
sejarah pers Indoensia, salah satu masalah yang menonjol adalah pelarangan
terbit atau “pembredelan” terhadap surat kabar. Pada hal ini akan dibahas
secara khusus yaitu surat kabar “Indonesia Raya” yang beberapa kali dibredel
walaupun hidup di dua periode pemerintahan yang berbeda, yaitu Orde Lama dan
Orde Baru (Suryomihardjo, 2002,
h. 169). melihat peristiwa yang dialami oleh “Indonesia Raya”, tampak bahwa
masalah pembredelan pers tidak dengan sendirinya terselesaikan dengan
berubahnya pemerintahan (Suryomihardjo,
2002, h. 170). Pembredelan
pers sendiri akhirnya dihapus setelah Indonesia merdeka, hal ini merupakan
perjuangan dari Persatuan Wartawan Indonesia yang didirikan di Sala 9 Februari
1946. PWI ini mengeluarkan keputusan menuntut pemerintah agar segera
mengeluarkan UU Pers yang bersumber pada hak kemerdekaan berpikir dan kebebasan
mempunyai serta mengeluarkan pendapat, sesuai dengan pasal 18 dan 19 UUD
Sementara (Suryomihardjo, 2002,
h. 177). Setelah itu, jika surat kabar ingin menerbitkan berita harus
menyetujui dan menandatangani Surat Izin
Terbit (SIT) yang diatur dalam 19 pasal di tahun 1960 (Suryomihardjo, 2002, h. 181). Kesembilan belas pasal tersebut
mencerminkan kebijaksanaan pemerintah waktu itu. Peraturan Peperti No.10/1960
ini bersama dengan Penpres No.6/1963 bisa disebut sebagai tulang punggung
kebijaksanaan pemerintah di bidang pers sesudah tahun 1959 sampai dengan
lahirnya Orde Baru tahun 1965 (Suryomihardjo,
2002, h. 183).
Kasus “Indonesia Raya”
Surat
kabar “Indonesia Raya” merupakan sebuah surat kabar yang kontroversial, karena
kritik-kritiknya yang tajam, terbuka dan langsung. Bahasa yang digunakan bahasa
populer tanpa banyak berusaha menggunakan eufemisme (Suryomihardjo, 2002, h. 213). Surat Kabar ini pertama kali lahir
tanggal 29 Desember 1949. Indonesia Raya ini mengalami masa penerbitan yang
terdiri dari dua periode, dan antara keduanya dipisahkan oleh jarak waktu
sepuluh tahun. Selama penerbitan periode 1949-1958 surat kabar ini mengalami
enam kali pembredelan, seluruhnya terjadi dalam waktu dua tahun terkahir
(1957-1958). Pada tahap ini juga terjadi penahanan selama beberapa bulan terhadap
Mochtar Lubis selaku pimpinan redaksi surat kabar ini dan hampir satu tahun
atas Enggak Bahau’ddin (Suryomihardjo,
2002, h. 214). Melihat dari peristiwa-peristiwa sebelumnya, “Indonesia Raya”
nampak menjadi media pers yang lebih mengutamakan idealism dari pada sebagai
suatu perusahaan bisnis. Sering didengar juga bahwa surat kabar ini kurang
mempertimbangkan kelangsungan hidup bisnis surat kabar, tetapi lebih kepada
hasrat memperjuangkan profesi kewartawanan yang murni. Adanya pernyataan
tersebut, Mochtar Lubis mengatakan bahwa ia juga telah memperhitungkan
hubungan antara surat kabar dengan
kepentingan bisnis (Suryomihardjo,
2002, h. 215).
Kementerian
Penerangan
Awal Terbentuk Kementerian
Penerangan
Kementerian
penerangan merupakan salah satu dari 12 kementrian yang dibentuk oleh
pemerintah dalam sidang PPKI. Kementerian tersebut dibentuk agar dapat
memperkenalkan dan menjelaskan baik kepada rakyat Indonesia sendiri maupun
kepada dunia luar tentang Indonesia yang baru saja memproklamasikan
kemerdekaan. Sebagai corong pemerintah, maka kementerian penerangan diberi
mandate untuk ikut serta membela dan mempertahankan kemerdekaan, mengajak
rakyat untuk ikut serta mempertahankan dan mengisi kemerdekaan, serta
memperkenalkan Republik Indonesia ke luar negeri.
Tenaga-tenaga Penerangan Pertama
·
Tenaga-tenaga pemuda yang melakukan
perjuangan di bawah tanah untuk persiapan kemerdekaan Indonesia
·
Mereka yang menggunakan kedudukannya
sebagai pegawai-pegawai Sedenbu dan Hosokyoku pada pemerintahanMiliter Jepang
untuk menyadarkan kebesaran nasional
·
WNI di luar negeri yang tergugah oleh
proklamasin kemerdekaan negerinya, sehingga membantu menyiarkan proklamasi
kemerdekaan di luar tanah air.
Daftar Pustaka
Suryomihardjo,
A. (2002). Beberapa Segi Perkembangan Sejarah Pers di Indonesia.
Jakarta: Kompas.
Komentar
Posting Komentar