Kebijakan Komunikasi Pers orde baru (part Media Cetak)

Pers orde baru (Media Cetak)

Pada masa orde baru, antara pemerintah, model hubungan pers, dan masyarakat terbagi atas dua model. Model ini sendiri merupakan suatu penentu kekuasaan yang ada saat itu. Model yang pertama adalah model dominatif. Dominatif sendiri menggambarkan bahwa sumber kekuasaan yang ada berpusat pada penguasa yang ada, seperti negara (pemerintahan). Model yang kedua adalah model pluralistik. Penekanan pada model ini memihak pada masyarakat. Sehingga tidak memerlukan adanya perizinan.
Hal ini kemudian akan mempengaruhi isi dan konten pers yang terpengaruhi oleh adanya politik yang mengakibatkan media tersebut kurang sesuai dengan realita yang ada. Pers dimasa itu dianggap kuat apabila mereka memiliki pengaruh kuat terhadap pembentukan kebijaksanaan politik di Indonesia. Jika dalam suatu negara memiliki kedudukan politik yang tinggi, maka pers akan memiliki peran yang sedikit dan kekuasaan yang lemah dalam suatu negara. Namun negara sendiri dapat bersifat sub-ordinat, apabila pers dan kekuatan politik lainnya lebih mendominasi.
Masa orde baru menunjukkan kuatnya kekuasaan pemerintah terhadap media dan masyarakat di Indonesia (mendominasi). Pemerintah atau negara sendiri lebih berpihak pada kelas atas, atau yang bersifat dominan. Posisi antara negara dengan masyarakat sendiri juga tidak bersifat seimbang. 
Era orde baru juga menunjukkan bagaimana pemerintah menolak adanya kritikan dan masukan dari masyarakat melalui pers. Beberapa pers pada masa itu dibredel atau dicabut izinnya karena dianggap membahayakan citra pemerintah pada publik saat itu. Pemberitaan mengenai pemerintah sangat diawasi saat itu. 
Salah satu penyebab dibredelnya berbagai media ini karena adanya aturan baru yang dibuat oleh Soeharto dan Sultan Hangkumengbuono IX dengan polisi, menteri dan pimpinan militer. Aturan tersebut berupa hal berikut:
  1. Tidak dikehendak terciptanya demonstrasi yang menimbulkan kekacauan dalam masyarakat.
  2. Menertibkan pemberitaan dalam pers dan surat kabar.
  3. Menertibkan kehidupan dalam universitas dan sekolah agar tidak terjadinya kegiatan politik.
Beberapa media yang pernah mengalami pembredelan izin adalah surat kabar Indonesia Raya. Surat kabar ini sempat mengalami penurunan jumlah penjualan surat kabar pada sekitar tahun 1973, dan ditutup pada bulan januari tahun 1974. Pemerintah pada kala itu mencabut Surat Izin Cetak (SIC) yang diterbitkan oleh KopKamtib dan Surat Izin Terbit oleh mentri penerangan. Surat Kabar Indonesia Raya sendiri merupakan surat kabar yang memuat pemberitaan politik, sosial, dan ekonomi. Arah dari pemberitaan Surat Kabar Indonesia Merdeka mengarah kepada msyarakat, dimana mereka lebih berpihak terhadap masyarakat daripada pemerintah. Surat Kabar ini sendiri melawan adanya kapitalisme pemerintah saat itu. 
Surat kabar selanjutnya yang sempat mengalami pembredelan adalah Harian Negara. Hampir serupa dengan alasan dibredelnya surat kabar  Indonesia Medeka, Harian Negara dianggap oleh pemerintah sebagai pembawa dampak negatif dari segala pemberitaan yang diberikan. Pemerintah menganggap bahwa mereka hendak menyerang pemerintah Indonesia agar menganggap bahwa pemerintah saat itu bersikap kejam kepada masyarakat. Ketakutan melalui ancaman media ini kemudian berpengaruh terhadap eksistensi media ini. Dibredelnya surat kabar Indonesia Merdeka juga memiliki relevansi terhadap kasus 
Tidak hanya surat kabar Harian Negara, namun terdapat juga beberapa surat kabar yang kemudian juga dibredel pada saat itu. Salah satunya adalah Mahasiswa Indonesia Bandung. Surat kabar ini dibredel karena dianggap menghasut publik dan mengakibatkan suasana yang tidak tertib dan keamanan publik , dan resmi dibredel pada 21 januari 1974. Tidak hanya 2 surat kabar ini, namun sangat banyak surat kabar yang ikut dibredel perizinannya. 
Pemerintah pada orde baru memiliki kekuasaan besar atas berjalannya pers dan majalah di Indonesia. Apabila ditemukan suatu pemberitaan yang menyinggung pemerintahan, media tersebut dapat dibredel atau terkena blacklist dari pemerintah. Regulasi yang ada sendiri bersifat elastis, dan mengikuti kemauan pemerintah saat itu. Kebebasan atas pers tidak ada pada masa itu. Pemerintah sepenuhnya mengontrol media cetak yang ada di Indonesia agar sesuai dengan keinginan pemerintah sendiri. 
Pada tahun 1982, pemerintah berusaha untuk lebih masuk ke dalam pers dan semakin berusaha untuk mengontrol pers. Pemerintah pada saat itu menggantikan Surat Izin Terbit (SIT) dengan Surat Izin Usaha Penerbitan Pers (SIUPP). SIUPP ini bersifat lebih rumit dibandingkan dengan SIT, dan bersifat menjangkau hingga ke internal pers tersebut. Prosedur dalam pembuatan surat izin ini juga lebih rumit, karena juga melibatkan bukti dukungan dari seluruh organisasi profesi yang relevan, kalangan sipil, militer, surat keterangan pendukung dari pemodal dan perusahaan percetakan. Apabila terjadi kesalahan dalam pendaftaran, maka berkas yang sebelumnya ada tidak dianggap valid dan wajib mengulangi proses pendaftaran dari awal. Ketentuan yang lain adalah pemberian saham sebesar 20% kepada pegawai dalam bentuk koperasi. Hal ini dimaksudkan agar pegawai juga mendapatkan feedback dari perusahaan. 
Aturan ini dianggap sangat menyulitkan media, karena berbagai aturan yang ada dianggap kurang masuk akal dan semakin rumit. Pemerintah saat itu juga sangat tegas terhadap berlangsungnya segala peraturan yang dapat menguntungkan mereka. Dominasi dan sistem kapitalis saat itu sangat kuat, bahkan menteri penerangan saat itu juga dapat mencabut SIUPP dan melakukan pembredelan media tanpa memberikan media tersebut kesempatan untuk membela driri di pengadilan. 
Regulasi yang berjalan pada orde baru seperti yang dapat dilihat bersifat sangat mengancam dan segala wewenang selalu berdasarkan keinginan dan kemauan pemerintah. Media tidak punya kekuasaan sama sekali pada saat itu untuk melawan kuatnya sistem kapitaslis yang ada. 



Komentar

Postingan Populer