Presentasi Kelompok Tentang Regulasi kebijakan komunikasi era orde baru (part RTF)


Regulasi Kebijakan Komunikasi
Media Pada Orde Baru
Radio, Televisi, Film

IMG_256download

Antonius Dhalmavia 150905624
Sara Syeva Setiani 170906232
Kevin Kurniawan 170906356

Fakultas Ilmu Sosial dan Politik
Universitas Atma Jaya Yogyakarta


Radio
            Media penyiaran di Indonesia menjadi salah satu media yang digunakan oleh masyarakat Indonesia pada saat orde baru. Adanya media ini sangat membantu masyarakat dalam memperoleh informasi-informasi terkait kejadian yang ada. Pada era orde baru media penyiaran tidak hanya digunakan sebagai saluran informasi masyarakat, namun juga menjadi alat propaganda pemerintah saat itu (Adiwilaga, Alfian, & Rusdia, 2018).
            Radio sendiri merupakan media yang dapat didengarkan dimana saja, bahkan saat sedang melakukan aktivitas yang lain, seperti membajak, bekerja di kantor, dan lain sebagainya. Pada dasarnya, terdapat karakter khas yang dimiliki oleh radio, yaitu bersifat lokal. Hal ini mengacu pada cara radio tersebut menjalin hubungan dengan pendengarnya. Keterbatasan jangkauan ini membuat radio mudah dalam membangkitkan hubungan dengan pendengar (Sudibyo, 2004).
            Di Indonesia media penyiaran tanpa kabel, seperti radio merupakan media penyiaran publik yang menggunakan gelombang elektromagnetik, dimana perlu adanya pengaturan jaminan dari lembaga independen, yaitu:
1.      Warga negara tidak hanya berperan sebagai pendengar, namun juga merupakan pemilik frekuensi, sehingga hak sipil dan politik warga tetap terpenuhi melalui perwakilan independen.
2.      Menjaga kepentingan pluralisme masyarakat penyiaran sesuai amanat UUD 1945.
            Jalur frekuensi yang digunakan memerlukan adanya alokasi, agar tidak terjadi tabrakan frekuensi. Maka dari itu, terdapat undang-undang sebagai regulasi yang mengatur jalannya proses siaran secara proposional (masduki, 2007).
            Pada awal mula orde baru (1966), hanya terdapat satu stasiun radio yang dimiliki oleh pemerintah di Indonesia, yaitu Radio Republik Indonesia (RRI). Beberapa siaran yang saat itu dibawakan oleh RRI selain sebagai media hiburan dan informasi antara lain merupakan siaran yang berupa persuasi dan pendidikan. Siaran yang dibawakan RRI sendiri membantu pemerintah dalam menyampaikan informasi mengenai program pemerintah.
            Seiring berjalannya waktu, tidak hanya radio milik pemerintah yang ada di Indonesia, namun muncul banyak radio swasta yang menguasai media penyiaran di Indonesia. Melihat hal ini pemerintah mengeluarkan Peraturan Pemerintah No. 55 tahun 1970 tentang Radio Siaran Non-Pemerintah. Pemerintah memandang bahwa radio swasta ini sendiri memiliki peran yang penting dalam memberikan informasi kepada masyarakat.
            Pada dasarnya, isi dari PP no. 55 tahun 1970 sendiri mengatur tentang radio non pemerintah. Melalui peraturan ini pemerintah dapat melakukan kontrol yang ketat terhadap isi konten dan pergerakan media yang dirasa dapat membahayakan citra pemerintah orde baru. Pengawasan pemerintah terhadap radio pada orde baru tampak pada pasal 3 ayat 5, yang mengatakan bahwa seluruh isi siaran yang ada harus dituliskan pada buku kerja harian, dimana melalui buku kerja harian ini pemerintah dapat mengawasi seluruh konten pemberitaan dan penyampaian kepada publik. Selain itu disebutkan pada pasal 5 ayat 4 bahwa pemerintah hanya memberikan kontrak selama 1 tahun kepada radio swasta, dan perpanjangan maupun pemutusan kontrak sendiri akan ditentukan oleh pemerintah. Dan seluruh peraturan yang tertulis disini hanya berlau bagi radio swasta, dan tidak ada peraturan yang spesifik kepada radio milik pemerintah.
            Kontrol dari pemerintah semakin terlihat disini, dimana pemerintah pada tahun 1974 membuat suatu wadah, atau organisasi bagi radio siaran swasta bernama Persatuan Radio Siaran Swasta Niaga Indonesia (PRSSNI). Organisasi ini sendiri bersifat wajib untuk diikuti oleh seluruh radio swasta yang ada di Indonesia. Aturan lain pada zaman orde baru mengharuskan radio swasta untuk menyiarkan pemberitaan dari RRI (Hikmat, 2018). Aturan-aturan ini merupakan salah satu cara pemerintah dalam mengontrol dan membatasi pergerakan radio swasta saat itu.
            Pemerintah menggunakan kekuasaanya sebagai pembuat regulasi atau aturan untuk membatasi ruang gerak radio swasta agar kekuasaan media tetap berada pada pemerintah, sehingga tercipta adanya stabilitas kekuasaan pemerintah terhadap media penyiaran (Sudibyo, 2004). Pemerintah sendiri bersifat sangat otoriter terhadap penyiaran radio pada era orde baru, dimana semua pemberitaan yang diberikan radio sangat diperhatikan dan sangat dipantau, agar tidak menyeleweng dari keinginan pemerintah (masduki, 2007).  Pada tahun 1997 pemerintah menerbitkan undang-undang yang mengatur tentang penyiaran, yaitu UU No. 24 tahun 1997 tentang penyiaran. Dalam undang-undang ini tertulis mengenai aturan-aturan yang ada bagi penyiaran di Indonesia (masduki, 2007).
            Undang-undang ini mengatur mengenai aturan yang ada bagi segala penyiaran yang ada, baik untuk radio swasta maupun milik pemerintah. Namun dalam undang-undang ini sendiri dapat dilihat bahwa aturan yang sangat ketat diberikan kepada stasiun swasta ketimbang stasiun milik pemerintah. Pada bagian ketiga pasal 10 ayat 2 menyatakan bahwa radio milik pemerintah memiliki kewenangan untuk menyiarkan segala pemberitaan keseluruh wilayah di Indonesia secara merata, sedangkan radio swasta pada bagian keempat pasal 16 ayat 1 hanya mendapatkan wilayah tertentu untuk menyiarkan konten yang dimiliki radio swasta.
            Konten yang dibawakan oleh kedua radio ini sendiri sangat berbeda, dimana radio milik pemerintah dapat membawakan segala konten yang ada (bagian ketiga pasal 10 ayat 4), sedangkan radio milik swasta hanya diperizinkan untuk membawakan salah satu konten (bagian keempat pasal 16 ayat 3). Di bagian keempat pasal 11 ayat 3 juga tertulis bahwa radio swasta tidak boleh membawakan konten acara yang berbau politik, ideologi, agama, aliran tertentu, ataupun golongan tertentu.
            Terdapat aturan yang ditulis dalam undang-undang ini yang membahas mengenai berjalannya proses siaran radio di Indonesia pada saat itu. Pada bab IV bagian pertama disebutkan bahwa seluruh siaran yang ada diwajibkan untuk memperbanyak siaran dalam negri daripada yang mengandung konten dari luar negeri, dengan ratio 70 banding 30. Siaran yang ada tidak boleh mengandung unsur yang bertentangan dengan Pancasila, seperti paham Marxisme, Komunisme, maupun Leninisme.
            Dalam wilayah jangkauannya sendiri secara spesifik dituliskan dalam bab IV bagian kedua belas pasal 47, dimana wilayah siaran radio pemerintah meliputi wilayah siaran internasional, nasional, regional, dan lokal (ayat 2a). Wilayah siaran radio swasta sendiri hanya meliputi wilayah lokal (ayat 3a). Dalam meyiarkan radio sendiri terdapat Lembaga Penyelenggara Siaran Khusus, dimana terdapat aturan (ayat 4), antara lain:

1.      Penyelenggaraan siaran radio melalui satelit: meliputi seluruh wilayah Indonesia
2.      Penyelenggaraan siaran radio melalui pemancar terrestrial:  meliputi wilayah sekitar
3.      Penyelenggaraan siaran radio melalui kabel: ,melputi daerah sekitar.
            Dari undang-undang dan Peraturan Pemerintah yang ada, dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya pemerintah di Indonesia saat itu sangat membatasi ruang gerak media radio, terutama radio swasta, dimana hampir semua konten yang dibawakan harus terbagi dengan konten dari pemerintah (RRI). Pemerintah sendiri mednapat anggapan sebagai pemerintah yang sangat otoriter, hal ini dikarenakan oleh peraturan yang diberikan terlalu ketat bagi media yang ada. Salah satu contoh undang-undang yang dianggap terlalu otoriter adalah UU No. 24 tahun 1997 pasal 7. Pasal ini membahas mengenai adanya Badan Pertimbangan dan Pengendalian Penyiaran Nasional (BP3N), yang berfungsi sebagai tangan kanan pemerintah dalam mengendalikan jalannya siaran di Indonesia. Hal ini tentu sangat membatasi ruang gerak radio di Indonesia.


Film
Film sebagai media dapat dimaknai sebagai media pembebasan, jadi pembuat film dapat mengekspresikan rasa dan keresahan dalam sebuah film.  Pada masa Jepang masuk ke Indonesia film juga digunakan sebagai strategi komunikasi, salah satu contohnya adalah Jepang menutup semua studio film yang semuanya milik Cina, kecuali milik Belanda, Multi Film. Hal ini dilakukan oleh Jepang dengan alasan  agar jangan dimanfaatkan untuk memproduksi film yang anti Jepang, karena Jepang sendiri menyadari pentingnya media film sebagai alat propaganda (Utomo, 2018, h.3).  Memasuki orde baru karakteristik industri film di Indonesia tidak lepas dari penerapan ideologi kapitalisme dalam struktur ekonomi politik Orde Baru yang dimana pemerintah terlalu banyak ikut campur dalam menentukan arah perkembangan industri film (Kurnia, 2006, h.279).

Regulasi Perfilman di Indonesia
No
Tahun/masa
Nama Undang-undang
1
1940/pemerintahan penjajahan Belanda
Ordonansi Film No 507
2
Orde Lama
Undang-undang Nomor 1 Pnps Th. 1965
3
Orde Baru
Undang-undang No 8 Tahun 1992
Sumber: Panjaitan & Aryani dalam Kurnia (2006)
KEBIJAKAN PERFILMAN INDONESIA 1967-1980
·         Kebijakan Film Impor
            Pada tahun 1967 pemerintah Orde Baru mulai membenahi dunia perfilman karena pada saat itu Indonesia mengalami penurunan drastis terkait dengan jumlah penonton film.  Kemudian pada tahun 1975-1977 Menteri Penerangan dijabat oleh Mashuri yang mengeluarkan   kebijakan perfilman: Keputusan Menteri Penerangan No.47/Kep/Menpen/76 tentang memperluas penggunaan dana impor, yang sebelumnya untuk penggunaan produksi film, perfilman secara umum, dan media massa, namun kemudian diambil pula untuk keperluan dana taktis Menpen. Oleh karena itu, kualitas film menurun karena tidak dibuat oleh orang yang benar-benar professional di bidang perfilman (Utomo, 2018, h.22).
             Berbicara tentang produksi film, pada dekade 1970-an hingga 1980-an angka produksi film di Indonesia sangat tinggi, hal ini dikarenakan pemerintah mengeluarkan kebijakan impor film yang dibarengi dengan pembiayaan dalam negeri. Menurut Luthfi dalam Kurnia (2006), pada saat itu Dirjen RTF Umar Kayam di bawah Menteri Penerangan B.M Diah mengeluarkan kebijakan SK 71 pada tahun 1967 yang memacu pertumbuhan film nasional secara kuantitatif (Kurnia, 2006, h.284). Walaupun secara kuantitatif film nasional meningkat, namun peningkatan ini belum bisa mengimbangi jumlah film impor yang masuk ke Indonesia. Sebagai perbandingan, pada kurun waktu 1974-1980 film nasional yang diputar di bioskop berjumlah 507, sedangkan film impor yang diputar sebanyak 2317 (Utomo, 2018, h.23). Fenomena ini terjadi karena tidak adanya regulasi yang membatasi film impor. Menurut Junaedi dalam Kurnia (2006) ada intervensi dari pemerintah yang lebih membantu para pengimpor film dibandingkan dengan produser film nasional (Kurnia, 2006, h.285). Selain maraknya film impor, film nasional juga harus bertanding dengan VCD dan DVD bajakan yang sangat murah dan mudah didapatkan, selain itu tayangan film gratis baik film impor maupun film nasional mulai menjamur tayang di stasiun televisi swasta sejak tahun 1990-an (Kurnia, 2006, h.286).
            Tabel Perkembangan Kebijakan Film Impor di Indonesia
Periode
Kondisi
1950-1965
Terjadi dominasi pemerintah dalam penolakan Film Impor asal Amerika Serikat
1965-1978
Pemerintah Indonesia mendominasi pembangunan infrastruktur perfilman yang terpusat
1978-1989
Terdapat dominasi Pemodal Tunggal dalam Praktek pemusatan impor film di Indonesia
1989-1998
Peran pemodal asing dan pemerintah asing dalam penguatan dominasi pemodal Indonesia
1998-2004
Bangkitnya industri perfilman Indoensia dan masih dikuasainya distribusi film impor oleh kelompok 21
Sumber: Sabidi dalam Kurnia (2006)

·         Kebijakan Sensor Film
            Pada masa Orde Baru pemerintah ikut campur lebih jauh dalam dunia perfilman khususnya pada arah regulasi, hal ini menjadi wajar karena seperti penjelasan sebelumya,  film pada masa ini tidak hanya digunakan untuk hiburan atau menjadi media kesenian saja, melainkan juga digunakan sebagai media propaganda oleh pemerintah, terutama untuk mendukung program-program yang dibuat oleh pemerintah itu sendiri (Utomo, 2018, h.23-24). Salah satu kebijakan yang dibuat adalah tentang sensor film, yang memiliki fokus pada pemotongan adegan atau dialog hingga larangan beredar, hal ini menjadi sebuah kontrol bagi pemerintah terhadap bentuk dan muatan film (Utomo, 2018, h.24).
            Pada masa Orde Baru (1967-1998) dibentuk Badan Sensor Fil (BSF) yang beranggotakan 33 orang, yang terdiri atas 24 orang mewakili pemerintah dan 9 orang mewakili partai politik, Kementerian Informasi serta Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan lebih mendominasi keanggotaan dengan masing-masing 10 orang. Namun, semakin lama BSF ini mengalami pengurangan anggota, yaitu dengan mengurangi unsur yang mewakili pemerintah, ketika Boediardjo menjabat sebagai menteri penerangan. Pada tahun 1971 keanggotaan BSF dari unsur partai politik dihapuskan, kemudian pada tahun 1973-1974 jumlah anggota BSF menjadi 20 orang yang trdiri dari unsur-unsur pemerintah dan non-pemerintah. Dari unsur pemerintah ada Departemen Penerangan, Departemen Dalam Negeri, Departemen Pertahanan, Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Departemen Luar Negeri, serta Kejaksaan Agung. Sedangkan dari unsur non-pemerintah ada perwakilan dari Persatuan Wartawan Indonesia (PWI) dan Kelompok Generasi ’45 (Erwantoro, 2011, h.374). Sejak tahun 1970-an BSF berada di bawah Direktur Jenderal (Dirjen) Radio, Televisi, dan Film (RTF). Kriteria dalam penyensoran, pemerintah dan BSF menitik beratkan pada criteria umum “melawan bahaya terhadap moralitas dan bahaya pada masyarakat yang terkait dengan pemutaran film”. Kemudian pada tahun 1977, Menteri Penerangan mengeluarkan Surat Keputusan tentang Pedoman Sensor, setelah itu pada tahun 1981 pemerintah mengundang sejumlah organisasi perfilman, seperti; Persatuan Perusahaan Film Indonesia (PPFI), Persatuan Artis Film Indonesia (Parfi), Persatuan Karyawan Film dan Televisi (KFT), dan Gabungan Studio Film Indonesia (Gasfi) guna memperbaiki Pedoman Sensor menjadi Kode Etik Produksi Film Nasional. Pada tahap ini pemerintah menyatakan bahwa sensor diberlakukan, khususnya pada aspek seks dan kekerasan, namun pada kenyataannya BSF memiliki keputusan yang lebih condong terhadap masalah keamanan nasional (Erwantoro, 2011, h.374-375).          
            Perkembangan selanjutnya dalah pada tahun 1992, mulai tahun ini sensor diatur dalam Undang-undang Perfilman No.8 tahun 1992 tepatnya pada bab V, pasal 33 dan 34 serta diwujudkan dalam Peraturan Pemerintah No. 7 tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film (LSF). Pada Bab tersebut menjelaskan bahwa sensor bertujuan untuk melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak negatif pertunjukan  dan atau penayangan film serta reklame film yang ternyata tidak sesuai dengan arah dan tujuan penyelenggaraan perfilman. Menurut Peraturan Pemerintah LSF memiliki fungsi:
a.       Melindungi masyarakat dari kemungkinan dampak negatif yang timbul dalam peredaran, pertunjukan, dan atau penayangan film dan reklame film yang tidak sesuai dengan dasar, arah, dan tujuan perfilman Indonesia
b.      Memelihara tata nilai dan tata budaya bangsa dalam bidang perfilman di Indonesia
c.       Memantau apresiasi masyarakat terhadap film dan reklame film yang diedarkan, dipertunjukkan, dan atau ditayangkan dan menganalisis hasil pemantauan tersebut untuk dijadikan bahan pertimbangan
Dari ketiga fungsi tersebut, LSF memiliki tugas:
a.       Melakukan penyensoran terhadap film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan atau ditayangkan kepada umum
b.      Meneliti tema, gambar, adegan, suara dan teks terjemahan suatu film dan reklame yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan atau ditayangkan
c.       Menilai layak tidaknya tema, gambar, adegan, suara dan teks terjemahan  suatu film dan reklame film yang akan diedarkan, diekspor, dipertunjukkan dan atau ditayangkan (Peraturan Pemerintah No.7 Tahun 1994 tentang Lembaga Sensor Film).
Melihat dari fungsi dan tugas LSF menunjukkan ingin mempertahankan tatanan nasional, LSF selalu mengklaim bahwa keberadaan mereka ditujukkan untuk menjaga integritas bangsa.
            Selama Masa Orde Baru, banyka kasus-kasus yang menimpa film-film nasional yang berhubungan langsung dengan lembaga sensor dan lembaga lain yang terkait. Menurut Eriyanto dalam Erwantoro (2011), tercatat tidak kurang 40 film nasional yang mengalami masalah dengan pihak sensor antara tahun 1970 hingga 2005. Permasalahan sensor           yang dihadapi film-film tersebut adalah: 15 film (37,5%) tersangkut masalah pornografi; 3 film (7,5%) menyangkut masalah kekerasan; 6 film (15%) tersangkut masalah menghina lembaga tertentu (kepolisian, negara, dsb), 2 film (5%) tersangkut masalah mengangkat simbol-simbol negara (seperti presiden); 4 film (10%) tersangkut masalah tidak mendidik (menggambarkan bunuh diri sebagai jalan keluar, menyebarkan kemewahan, gaya hidup, dsb); 8 film (20%) tersangkut masalah kritik sosial (misalnya mempertajam kesenjangan sosial); dan 2 film (5%) tersangkut masalah ancaman gangguan  keamanan di daerah (Erwantoro, 2011, h.376-377). Selanjutnya, Eriyanto mengungkapkan bentuk-bentuk tindakan sensor yang diberlakukan kepada film-film tersebut yaitu: 1 film (2,5%) mendapat teguran keras; 3 film (7,5%) dilarang beredar dalam skala nasional; 11 film (27,5%) dilarang beredar di daerah tertentu; 7 film (17,5%) terkena sanksi untuk mengubah isi atau bagian tertentu dari film; 1 film (2,5%) cerita tidak boleh diproduksi; dan 17 film (42,5%) dipotong pada bagian tertentu oleh BSF. Sebagai contoh, pada tahun 1970, film “Hidup, Cinta, dan Airmata” dinilai terlalu banyak mengandung adegan porno. Kemudian di tahun 1972 fil “Romusha” meskipun sudah lolos dari BSF, namun dilarang beredar oleh Deppen yang merasa khawatir pemerintah Jepang akan marah. Tahun 1973, film “Bumi Makin Panas” telah lolos dari BSF, namun Bapfida (Badan Pertimbangan Film Daerah) Cianjur melarang film ini beredar di daerahnya. Kemudian pada tahun 1974, film “Pengakuan Seorang Perempuan” sudah lolos BSF, namunoleh Bafida Yogyakarta ditolak karena terlalu banyak mempertontonkan adegan dan dialog erotika, dan masih banyak kasus-kasus lain di tahun-tahun berikutnya (Erwantoro, 2011, h.377).
            Dari kasus-kasus sensor yang terjadi selama masa Orde Baru, Krishna Sen dalam Erwantoro (2011) berpendapat bahwa unsur-unsur  penting dari ideologi sensor di Indonesia meliputi: (1) ancaman atas persatuan agama di Indonesia, (2) merugikan bagi pembangunan kesadaran nasional, (3) mengeksploitasi perasaan dari etnisitas, agama atau kepercayaan, atau yang mengundang keresahan sosial. Selain itu, ditambah lagi dengan pedoman sensor yang dikeluarkan oleh Deppen yaitu larangan menyatakan atau menggambarkan sejumlah ideologi yang dilarang  secara eksplisit, seperti: kolonialisme, imperialism, fasisme, dan komunisme (Erwantoro, 2011, h.378).
·         Kebijakan Finansial
            Pada masa pemerintahan Soeharto, film Indonesia hampir seluruhnya digiring oleh politik pembangunan dan pencapaian ekonomi pemerintahan Orde Baru. Untuk mengatasi kesulitan modal, Menteri Perdagangan mengeluarkan Surat Keputusun (SK) yang berisi mewajibkan setiap importer film membayar Rp250.000 untuk tiap film yang diimpor yang selanjutnya melalui Yayasan Film, dana ini dipinjamkan kepada produser yang membutuhkannya dengan syarat ringan tanpa bunga (Utomo, 2018, h.29-30). Tahun 1978-1983 Ali Moertopo menjabat menjadi Menteri Penerangan, pada periode ini kebijakan pemerintah terkait perfilman kembali berubah. Keputusan Menteri Penerangan No.224/Kep/Menpen/1978 berisi tentang Penggunaan dana impor film untuk hal-hal berikut:
a.       Subsidi penuh film kultural edukatif sesuai Dewan film
b.      Kredit penuh
c.       Kredit investasi berimbang
d.      Kredit prestasi untuk film siap edar
Dalam ketentuan tersebut film Indonesia harus Cultural Edukatif dalam. Kemudian wajib produksi dihapus dan diganti dengan wajib sumbang atas nama Dana Sertifikat Produksi sebesar Rp 2.500.000 bagi tiap judul film yang diimpor (Utomo, 2018, h.30-31). 

·         Kebijakan Tata Edar Film
            Pada tahun 1975 didirikan BAPFIDA (Badan Pembinaan Film Daerah) di tingkat provinsi. BAPFIDA sendiri dibekali tugas untuk melakukan sensor film yang akan diputar di provinsi-provinsi yang ditempati. Namun, tetap berbeda dengan BSF, mereka tidak bisa memotong atau mengubah film melainkan mereka dapat melarang sebuah film beredar di wilayah kewenangannya. Kemudian, SK tahun 1975 yang dikeluarkan bersama Menteri Penerangan, Menteri Dalam Negeri, dan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, mengharuskan setiap bioskop memutar film Indonesia sedikitnya 2 kali dalam sebulan (Utomo, 2018, h.31).

TELEVISI
Media penyiaran Televisi merupakan salah satu media yang baru-baru saja muncul di era orde baru. Pemerintah dan rakyat sangat mengkehendaki adanya media televisi muncul di Indonesia. Kemudian dibuatlah Ketetapan MPRS Nomor II/MPRS/1960, Lampiran A, Bab I, Pasal 18 yang menyebutkan bahwa pembangunan siaran televisi yang ada di Indonesia tahap awal dibatasi pada tempat-tempat yang ada Universitasnya di Indonesia untuk tujuan pendidikan. Kemudian pada tahun 1961, pemerintah menerbitkan Keputusan Menteri Penerangan Nomor 20/SK/M/61 tanggal 25 Juli 1961 tentang pembentukan Panitia Persiapan Televisi (P2TV). (Panjaitan, 1999 : 2). P2TV ini mengatur berbagai hal tentang persiapan pembangunan televisi di Indonesia.
Kemunculan TVRI menjadi sebuah sejarah baru bagi negara Indonesia kala itu. Pada tahun 1962, TVRI muncul dengan siaran perdananya yaitu siaran Asian Games di Jakarta pada tahun yang sama. Kemudian dilakukan persiapan dan uji coba siaran pada tahun 1962 sampai 1963. Kemudian pada tanggal 30 Oktober 1963 dibentuklah dan diterbikanlah Keputusan Presiden No. 215 tahun 1963 yang merupakan cikal bakal lahirnya Yayasan Televisi Republik Indonesia. (Yayasan TVRI). Kemudian yayasan TVRI yang kemudian disebut TVRI memiliki kantor pusat di Jakarta dan memiliki cabang-cabang di daerah lain sesuai dengan kebutuhan di daerah tersebut. TVRI sebagai media komunikasi massa melakukan berbagai kegiatan yang berhubungan dengan bidang penerangan, pendidikan, ilmu pengetahuan, keagamaan, keolahragaan, kesenian dan kebudayaan, dan hubungan kebudayaan antar negara (Panjaitan, 1999 : 4).
Kemunculan TVRI ini memunculkan peraturan-peraturan dan regulasi-regulasi yang mengatur sistem penyiaran televisi di Indonesia. Bahkan sebelum kemunculan TVRI, sudah dibentuk beberapa regulasi yang mengatur hal tersebut. Pengaturan penyelenggaraan sistem penyiaran televisi di Indonesia terbagi menjadi 3 era, yaitu

A. Era Monopoli TVRI (1962-1971)
Monopoli yang dilakukan oleh TVRI dimulai saat berlangsungnya Asian Games di Jakarta pada tahun 1962. Pada saat itu TVRI menjadi stasiun TV pertama di Indonesia. Pemerintah berusaha keras dalam membangun TVRI, karena mereka menganggap bahwa kehadiran TVRI sangatlah penting dan memiliki dampak yang sangat besar bagi sejarah penyiaran di Indonesia. Untuk itu, pemerintah mengerahkan semua tenaga untuk terealisasinya stasiun TVRI.
TVRI merupakan media massa yang memiliki peran penting dalam pemebinaan dan pembangunan bangsa, selain itu TVRI juga menjadi panutan dalam pembangunan stasiun televisi di Indonesia, sehingga jaminan akan terselenggaranya TVRI sangatlah penting. Namun, penyelenggaraan TVRI membutuhkan biaya yang tidak sedikit, untuk itu Presiden Soekarno mengeluarkan Keputusan Presiden Nomor 218 Tahun 1963 tanggal 20 Oktober 1963 tentang Pemungutan Sumbangan Iuran untuk Membantu Pembayaran Yayasan TVRI sebagai pelengkap Keputusan Presiden Nomor 215 Tahun 1963 (Panjaitan, 1999 : 7). Setiap orang yang memiliki pesawat televisi di Indonesia wajib memberikan sumbangan Rp. 300 per pesawat televisi.
Monopoli TVRI dalam bidang penyiaran televisi ternyata baru dimasukkan ke dalam struktur organisasi dan kelembagaan Departemen Penerangan sejak tahun 1984 dengan lahirnya Keputusan Menteri Penerangan Nomor 230A Tahun 1984 tentang Organisasi dan Tata Laksana Departemen Penerangan (Panjaitan, 1999 : 8). Organisasi yang dimaksud adalah Dirjen RTF.
RTF adalah sebuah Direktorat Jenderal yang berada di bawah naungan Departemen Penerangan di era orde baru. Dirjen RTF mengatur bidang Televisi, Radio dan Film. Dirjen RTF ini memiliki tugas untuk melaksanakan tugas-tugas pokok Menteri Penerangan di dalam budang Radio, Televisi dan Film. Dirjen RTF dibagi menjadi beberapa bagian lagi, yaitu Sekertariat Dirjen, Direktorat  Radio, Direktorat Televisi dan Direktorat Pembinaan Film & Rekaman Video (Panjaitan, 1999 : 9). Masing-masing direktorat tersebut memiliki tugas yang berbeda-beda sesuai dengan bidangnya.
Tugas & Fungsi Direktorat Televisi (Panjaitan, 1999 : 9)
A. Pembinaan siaran televisi di seluruh Indonesia
B. Pembinaan programma siaran televisi
C. Pembinaan produksi siaran televisi
D. Pembinaan dan pemberitaan televisi
E. Pengaturan penggunaan dan pemeliharaan peralatan teknik TVRI di seluruh Indonesia
F. Urusan tata usaha dan rumah tangga direktorat

Direktorat Televisi ini dibagi menjadi Bagian Tata Usaha, Sub Direktorat Siaran, Sub Direktorat Bina Programma, Sub Direktorat Bina Produksi, Sub Direktorat Pemberitaan dan Sub Direktorat teknik (Panjaitan, 1999 : 9). Semua bagian tersebut memiliki tugas dan tanggung jawabnya masing-masing.
Pada era Monopoli ini, yayasan TVRI memegang monopoli pengaturan sistem penyiaran televisi di Indonesia. Banyak yang menganggap bahwa ada beberapa bagian dari Keputusan Presiden Nomor 215 Tahun 1963 kurang tepat. Salah satunya adalah tentang kedudukan Presiden sebagai sebagai ketua pada yayasan ini. Namun pada masa Orde Baru tahun 1966, Keputusan Presiden ini mulai diperbaiki beberapa bagiannya. Sebenarnya, era monopoli TVRI dalam bidang penyelenggaraan sistem penyiaran televisi di Indonesia secara de jur e berlangsung sampai dengan 1986 dan secara de facto sampai tahun 1990. Padahal sudah jelas bahwa pengaturan pada Keppres Nomor 215 Tahun 1963 itu tidak dapat dibenarkan (Panjaitan, 1999 : 16)

B. Era Pembaruan
Era monopoli yang dilakukan TVRI sejak tahun 1963 terus berlangsung sampai tahun 1990. Namun, terus dilakukan pembaruan oleh pemerintah, yaitu:

1. Era Pembaruan Tahap Satu (1971-1986)
Pada tanggal 3 Mei 1971, pemerintah mengeluarkan keputusan Menteri Penerangan Nomor 54/B/KEP/MENPEN/1971 tentang Penyelenggaraan Siaran Televisi di Indonesia. Keputusan ini dilatarbelakangi oleh keinginan untuk memperbaiki sistem penyelenggaraan penyiaran televisi di Indonesia dan adanya perkembangan yang sangat pesat pada pertelevisian di Indonesia.
 Wewenang penyelenggaraan siaran televisi hanya dimiliki oleh pemerintah, yaitu Departemen Penerangan, Dirjen Televisi. Pembaruan tahap satu ini dianggap sebagai awal untuk melakukan perbaikan terhadap pengaturan penyelenggaraan pertelevisian di Indonesia.

2. Era Pembaruan Tahap Dua (1986-1987)
Keluarnya Keputusan Menteri Penerangan Nomor 167/B/KEP/MENPEN/1986 tentang Penyelenggaraan Siaran Televisi di Indonesia tanggal 20 Agustus 1986, menandakan dimulainya era pembaruan tahap dua. Ada 3 pertimbangan yang menjadi latarbelakang diharuskannya melakukan pembaruan tahap dua terhadap pengaturan yang ada sebelumnya. Pertama, perkembangan teknologi yang ada membuat perlunya pembaruan terhadap pengaturan penyelenggaraan penyiaran televisi di Indonesia. Kedua, perkembangan pertelevisian di Indonesai haruslah benar-benar memiliki fokus dalam menunjang pembangunan di Indonesia di segala bidang. Ketiga, perlunya menyempurnakan aturan-aturan dan wewenang tentang penyelenggaraan penyiaran televisi di Indonesia (Panjaitan, 1999 : 19). Dalam pembaruan tahap dua ini ada aturan yang mengatur 5 hal yang dianggap baru, yaitu Siaran Televisi, Stasiun Relay, Antena Parabola, Sistem Distribusi dan Sistem Closed Circuit. Pada pembaruan tahap dua ini, mulai diikursertakannya pemerintah daerah dan instansi lain. Era pembaruan tahap dua ini menjadi awal dari upaya penghapusan monopoli yang dilakukan oleh TVRI. Namun, hal tersebut masih samar-samar, terlihat dari Pasal 2 yang menyatakan bahwa kewenangan penyelenggaraan siaran televisi hanya ada pada pemertintah yaitu Departemen Penerangan, namun pasal 2 ini agak sedikit “diganggu” oleh pasal 3 yang intinya adalah memperbolehkan pemerintah daerah ataupun instansi lain dalam menunjang pembangunan prasarana televisi di Indonesia sesuai dengan pola yang disusun oleh Departemen Penerangan. Dengan munculnya regulasi ini, TVRI bukanlah pemain tunggal lagi dalam penyelenggaraan penyiaran televisi di Indonesia. Namun, peraturan tersebut masih samar dan pada akhirnya semuanya kembali kepada Departemen Penerangan. Sesungguhnya Keputusan Menteri Penerangan Nomor 167/B/KEP/MENPEN/1986 dapat dikatakan tidak taat pada Keputusan Presiden Nomor 215 Tahun 1963. Karena peraturan tersebut memperbolehkan pihak lain untuk ikut serta dalam penyelenggaraan penyiaran televisi di Indonesia yang dengan kata lain “mengganggu” monopoli TVRI.

3. Era Pembaruan Tahap Tiga (1987-1990)
Era pembaruan tahap tiga ini ditandai dengan dikeluarkannya aturan tentang Siaran Saluran Terbatas TVRI yang ditungkan dalam Keputusan Menteri Penerangan RI Nomor 190A/KEP/MENPEN/1987 tanggal 20 Oktober 1987. Pembaruan tahap tiga ini didasari oleh 3 hal, pertama, perkembangan teknologi yang semakin hari semakin maju dan berkembang pesat. Kedua, dengan alasan untuk kelanjutan dalam mendorong kesuksesan pembangunan pertelevisian di Indonesia. Ketiga, menambah program siaran melalui saluran terbatas. Dalam pasal 1 dan 2 peraturan ini, terlihat bahwa terdapat perubahan sikap. TVRI diberi wewenang untuk menyelenggarakan SSU (Siaran Saluran Umum) dan SST (Siaran Saluran Terbatas). Dalam menyelenggarakan SST, yayasan TVRI dapat menunjuk pihak lain sebagai pelaksana.
Dengan adanya peraturan ini, berarti peraturan ini menjadi peraturan pertama yang membuat pihak swasta memiliki peluang untuk melaksanakan penyiaran televisi di Indonesia. Secara tidak langsung, hal tersebut merupakan awal berakhirnya monopoli TVRI.
Pihak swasta pertama yang mendapatkan ijin untuk melakukan penyiaran adalah Rajawali Citra Televisi (RCTI) yang diatur dalam Surat Perjanjian antara Direktur Televisi/Direktur Yayasan TVRI dengan Direktur PT RCTI Nomor 12/SP/DIR/IV/1988_RCTI.BT.02/1988 tanggal 22 Februari 1988 dengan jangka waktu pelaksanaan SST selama 20 tahun.
Untuk tahap pertama, waktu maksimal siaran SST adalah 18 jam per hari. Selain itu, dibentuk pula Komisi Siaran untuk mengawasi penyelenggaraan siaran. RCTI melakukan siaran dengan persentase 10% untuk siaran berita/pemerintah, 20% siaran pendidikan, Agama dan kebudayaan, 55% siaran hiburan dan olahraga, dan 15% untuk siaran niaga. Selain itu, RCTI juga diwajibkan untuk membayar sebesar 12,5% dari pendapatan pelaksanaan siaran niaga/iklan kepada yayasan TVRI (Panjaitan, 1999 : 26). Kemudian, pada era ini juga SCTV mendapatkan izin Prinsip oleh Departemen Penerangan. Dirjen RTF Nomor 1415/RTF/K/IX/1989.





4. Era Pembaruan Tahap Empat (1990-1997)
Era ini dimulai ketika lahirnya Keputusan Menteri Penerangan Nomor 111/KEP/MENPEN/1990 tentang Penyiaran Televisi di Indonesia tanggal 24 Juli 1990. Aturan ini semakin memperlebar kemungkinan pihak swasta untuk menyelenggarakan siaran televisi di Indonesia. Kemudian diterbitkan lagi Keputusan Menteri Penerangan Nomor 84A/KEP/MENPEN/1992 tentang perubahan ketentuan pasal 7 dan pasal 14 keputusan menteri penerangan RI Nomor 111/KEP/MENPEN/1990 tentang Penyiaran Televisi di Indonesia. Banyak perubahan yang terjadi dalam era ini. Semua perubahan tersebut semakin membuka lebar kemungkinan bagi pihak swasta untuk berpatisipasi dalam penyiaran televisi di Indonesia.
Menyusul RCTI, SCTV pada tanggal 1 Agustus 1990 diijinkan menyelenggarakan siaran tanpa rekorder berdasarkan ijin prinsip Departemen Penerangan Dirjen RTF Nomor 1217E/RTF/K/VIII/1990. Secara operasional, kegiatan SCTV baru dapat dilaksanakan berdasarkan Perjanjian Penunjukkan Pelaksana STSU SCTV Nomor 150/SP/Dir/TV/1990_02/SPS/SCTV/VIII/1990 tanggal 24 Agustus 1990.
Kemudian tak lama berselang TPI (Televisi Pendidikan Indonesia) mendapat ijin prinsip dari departemen penerangan Dirjen RTF Nomor 1271B/RTF/K/VIII /1990 tanggal 1 Agustus 1990.
Kemudian pada tanggal 30 Januari 1993, ANTEVE mengikuti jejak-jejak pendahulunya berdasarkan prinsip Departemen Penerangan Dirjen RTF Nomor 207/RTF/K/I/1993 tentang ijin siaran nasional bagi PT Cakrawala Andalas Televisi.
Kemudian pada 18 Juni 1992 lahirlah PT Indosiar Visual Mandiri (Indosiar) berdasarkan ijin prinsip Departemen Penerangan Dirjen RTF Nomor 208/RTF/K/I/1993.
Jadi regulasi baru yang muncul pada pembaruan tahap 4 ini memungkinkan kemunculan pihak swasta yaitu RCTI,SCTV, TPI, ANTEVE, dan Indosiar.


C. Era Kemitraan (1997)
Tahun 1997 adalah tahun dimana dimulainya kebangkitan hukum penyiaran di Indonesia. Dengan lahirnya Undang-undang Nomor 24 Tahun 1997 tentang Penyiaran tanggal 29 September 1997. Di dalam undang-undang ini, semua aturan diatur dengan baik. Namun Undang-undang ini baru efektif terlaksana pada tanggal 29 September 1999. Setiap lembaga penyiaran yang sudah ada sebelum undang-undang ini muncul wajib untuk menyesuaikan ketentuan undang-undang ini


D. Studi Kasus
Pada awal lahirnya stasiun televisi swasta RCTI pada tanggal 22 Februari 1988, seperti menjadi angin segar bagi pertelevisian di Indonesia. Karena dengan dibuatnya Kepmen RI Nomor 190A/KEP/MENPEN/1987 tanggal 20 Oktober 1987, pihak swasta memiliki kesempatan untuk ikut serta dalam penyiaran televisi di Indonesia. Namun, pelaksanaannya masih dikontrol oleh TVRI sebagai televisi pemerintah. Sehingga kebebasan RCTI pada saat itu masih sangatlah terbatas.
Untuk tahap pertama, waktu maksimal siaran SST adalah 18 jam per hari. Selain itu, dibentuk pula Komisi Siaran untuk mengawasi penyelenggaraan siaran. RCTI melakukan siaran dengan persentase 10% untuk siaran berita/pemerintah, 20% siaran pendidikan, Agama dan kebudayaan, 55% siaran hiburan dan olahraga, dan 15% untuk siaran niaga. Selain itu, RCTI juga diwajibkan untuk membayar sebesar 12,5% dari pendapatan pelaksanaan siaran niaga/iklan kepada yayasan TVRI (Panjaitan, 1999 : 26). Selain siaran yang sangat diatur, RCTI juga seperti “dipalak” oleh TVRI karena pada saat itu, TVRI masih sangat dominan. Sebagai televisi milik pemerintah, TVRI diberikan wewenang untuk mengatur dan mengawasi televisi swasta. Namun, berbeda dengan sekarang. Televisi swasta berdiri sendiri tanpa campur tangan dari TVRI. Selain itu, sekarang tidak ada lagi pungutan apapun yang muncul pada RCTI. Namun, pada tahun 2017 lalu pemerintah sempat mencanangkan pungutan dana sebesar 5%, namun RCTI agak keberatan dengan hal tersebut dan meminta pemerintah untuk mendiskusikan hal tersebut dengan stasiun-stasiun televisi lainnya (https://ekonomi.bisnis.com/read/20170709/105/669613/pungutan-dana-penyiaran-5-atvsi-akan-tolak-rencana-pemerintah, diakses pada 9 April 2019)























Daftar Pustaka

Adiwilaga, R., Alfian, Y., & Rusdia, U. (2018). sistem pemerintahan indonesia.

Erwantoro, H. (2011). Sensor Film di Indonesia dan Permasalahannya dalam Perspektif        Sejarah (1945-2009). Jurnal Patanjala. 3(2), 365-383. Dari             http://ejurnalpatanjala.kemdikbud.go.id/patanjala/index.php/patanjala/article/dow  nload/283/229

Hikmat, H. M. (2018). Jurnalistik: Literary Journalism.

Kurnia,  N. (2006). Lambannya Pertumbuhan Industri Perfilman. Jurnal Ilmu Sosial dan       Ilmu Politik. 9(3), 271-296. Dari     https://jurnal.ugm.ac.id/jsp/article/view/11026/8267
masduki. (2007). regulasi penyiaran: dari otoriter ke liberal.

Panjaitan, H. (1999). Memasung Televisi: Kontroversi Regulasi Penyiaran di Era Orde Baru. Institut Studi Arus Informasi. Jakarta
Peraturan Pemerintah No. 55 Tahun 1970

Sudibyo, A. (2004). Ekonomi Politik Media Penyiaran.

Sudibyo, Agus. (2004). Ekonomi Politik Media Penyiaran.

Utomo, S.Y. (2018). Kebijakan Perfilman Indonesia pada Masa

Orde Baru (1967-1998).         Karya Ilmiah

UU No. 24 Than 1997 Tentang Penyiaran






 




Komentar

Postingan Populer