Kebijakan Hukum dan Regulasi bidang Telekomunikasi (Frekuensi, Internet dan Informatika


Kebijakan Hukum dan Regulasi bidang Telekomunikasi (Frekuensi, Internet dan Informatika
Dasar Kelahiran Undang-undang
Undang-undang telekomunikasi lahir pada tahun 1999, tepatnya pada akhir periode orde baru pada zaman deregulasi. Undang-undang Telekomunikasi telah diproses dan dipelopori oleh Margaret dan Ronald sejak tahun 1980an. Selanjutnya terdapat koreksi konsep deregulasi oleh John Mayor pada tahun 1997. Pada tahun 1980an dan 1990an terdapat paket kebijakan oktober 1988 dan regulasi-regulasi lainnya yang meliberalisasi dunia perbankan Indonesia. . Sejak tahun 1996, RUU Telekomunikasi lahir. Pada tahun 2000 terdapa studi mengenai Undang-undang Telekomunikasi oleh IMLPC, yang menjelaskan bahwa pada saat itu masyarakat luas tidak memiliki kemampuan untuk mempengaruhi pemerintah.
Pada 8 september 1999, Undang-undang Telekomunikasi disahkan oleh Presiden Habibie. Undang-undang Telekomunikasi menyebutkan adanya kolaborasi antara negara dan kapitalis. Dari Undang-undang No. 40 tahun 1999 tentang Pers adalah mengandung prinsip liberal. Pada masa itu, hal tersebut dapat diterima oleh semua pihak, baik dari pemerintah maupun masyarakat. Undang-undang penyiaran ini mengatur tentang media penyiaran yang menggunakan frekuensi publik. Undang-undang penyiaran terbit pada masa pemerintahan Megawati.
Negara Indonesia merupakan negara yang menganut sistem demokratis. Di dalam negara demokratis, dicirikan dengan adanya kebebasan berkespresi. Untuk itu, Undang-undang Pers dan Penyiaran yang dibuat juga mengutamakan prinsip kebebasan namun tetap teratur dan tertib. Dalam Undang-undang Telekomunikasi dinyatakan bahwa penyelenggara telekomunikasi terbagi menjadi tiga institusi, yaitu : Penyelenggara jaringan telekomunikasi, Penyelenggara jasa telekomunikasi, dan penyelenggara telekomunikasi khusus. Namun di Indonesia sendiri membiarkan penyelenggara jaringan dan jasa telekomunikasi dikuasai oleh orang asing. Selain itu, regulasi membiarkan penyelenggara jaringan untuk mengontrol dan memiliki penyelenggara jasa telekomunikasi. Padahal dunia penyiaran dengan jelas menyatakan bahawa orang asing tidak boleh menguasai lembaga penyiaran. Undang-undang Telekomunikasi di Indonesia bersifat liberal, sedangkan Undang-undang Penyiaran yang diharapkan dapat berpihak pada kepentingan nasional dan publik belum dipraktikkan. Dalam Undang-undang Telekomunikasi saat ini, penyiaran dimasukkan sebagai penyelenggara telekomunikasi khusus. Namun, penyiaran tidak dapat hanya disebut sebagai pemyelenggara telekomunikasi khusus. Hal ini dikarenakan oleh kompleksitas dan peranan penyiaran sangat besar, salah satunya dalam membentuk opini publik.

Regulasi Media, Khususnya Penyiaran
Pada umumnya regulasi media diatur dengan melihat suatu media menggunakan ranah publik. Contoh media yang tidak menggunakan ranah publik adalah surat kabar, film, majalah, tabloid dan buku. Media ini menggunakan pengaturan yang berdasarkan prinsip pengaturan diri sendiri. Sedangkan lembaga penyiaran yang menggunakan ranah publik yang free to air dan terestrial, regulasi radio dan televisinya berlangsung dengan ketat. Di negara Indonesia, memiliki regulator antara lain KPI dan Kemenkominfo. Regulasi media elektronik yang menggunakan ranah publik dilakukan dengan ketat, karena media eleketronik menggunakan ranah publik, spektrum gelombang radio dalam bentuk frekuensi dipergunakkan dan dimanfaatkan untuk kemakmuran rakyat dan kesejahteraan publik, frekuensi yang digunakan bersifat terbatas dan siaran televisi dapat memasuki dan menembus ruang keluarga dengan serentak. Industri penyiaran diatur dengan ketat oleh undang-undang dan bersifat khusus. Teknologi semakin hari semakin berkembang, dunia penyiaran telah memasuki dunia digital. Namun, Undang-undang Telekomunikasi belm banyak mengatur tentang perkembangan teknologi digital dan konvergensi, begitu pula dengan Undang-undang Penyiaran.

Mencari Model Penyiaran Publik
Undang-undang Penyiaran No. 32 tahun 2002 menjamin dan mendorong lahirnya Lembaga Penyiaran Swasta, Publik dan Komunikasi. Namun, tekanan liberalisasi dan pasar sangat kuat, sehingga dunia penyiaran Indonesia dikuasai oleh swasta dan negara tidak dapat berbuat banyak dalam menegakkan peraturan perundang-undangan. Indonesia memiliki 1178 stasiun radio, 775 stasiun radio adalah radio komersil dan menjadi anggota Persatuan Radio Swasta Nasional. Selebihnya merupakan stasiun radio komersil non-PRSN, radio publik lokal, radio komunitas dan kurang lebih 77 stasiun RRI. Dalam bidang televisi komersil, terdapat kira-kira 400 lembaga penyiaran, 218 stasiun televisi nasional yang dikuasai oleh lima perusahaan. Pengelolaan frekuensi radio dapat dikaitkan dengan berbagai aspek yaitu secara ekonomi. Dengan melakukan pengelolaan yang tepat terhadap frekuensi radio maka akan menimbulkan a multiple of wealth yaitu dengan memberikan peluang bagi industri penyiaran dan telekomunikasi dalam meningkatkan produk serta pelayanan. Misalnya penggunaan telepon. Telepon dapat mempermudah masyarakat untuk berkomunikasi sehingga dapat meningkatkan kualitas hubungan. Selain itu, dengan adanya internet masyarakat dapat menambah wawasan berupa pengetahuan yang diperoleh melalui internet.
Terdapat TVRI yang memiliki 27 stasiun televisi yang tersebar di seluruh Indonesia. Dalam lembaga penyiaran publik, TVRI dan RRI dibangun atas dasar konsep public service broadcasting seperti Eropa Barat dengan penyesuaian-penyesuaian keindonesiaan, yaitu lembaga penyiaran publiknya dibiayai oleh negara, namun dikelola secara independen. Undang-undang Penyiaran yang baru diharapkan dapat memberi perincian terkait pembiayaan, supaya TVRI dapat mentransformasikan dirinya dengan jelas sehingga dapat menjadi Public Service Broadcasting.
Frekuensi radio tidak hanya sumber daya terbatas, tetapi merupakan public resource. Frekuensi radio dikelola oleh negara sehingga frekuensi radio dimiliki dan dimanfaatkan oleh masyarakat. Pasal 33 ayat 3 UUD 45 menyatakan bahwa “Bumi dan air dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat. UU Penyiaran No. 32 tahun 2002 juga menegaskan bahwa spektrum frekuensi radio merupakan ranah publik dan sumber daya alam terbatas, dan penggunaannya harus berorientasi untuk sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.



Komentar

Postingan Populer